Tuesday, February 7, 2012

Kemi, Cinta Kebebasan yang Tersesat


‘Bukan Novel Biasa’. Label itulah yang tercantum di bagian depan sampul buku yang memiliki ilustrasi menarik ini, apalagi ketika membaca tema yang diusung bukan hal yang lazim diangkat dalam ranah novel. Tema pergolakan pemikiran liberal memang lebih sering terurai dalam karya non fiksi. Kemi, seorang santri yang tiba-tiba ingin keluar dan melanjutkan kuliah ke Jakarta menjadi awal cerita yang sarat dengan dialog dan pemikiran liberal vs islam.

Aktivitas yang dipenuhi dengan keramahan, fasilitas lengkap, akses mudah, dan suasana yang nyaman di Kampus Damai Sentosa, membuat Kemi keblinger ketika dirimu dicekoki sebuah paham yang dinilai keluar dari kebenaran. Kyai Rois yang merasa turut bertanggung-jawab dengan apa yang terjadi pada diri Kemi, akhirnya mengirim Rahmat untuk mengajaknya kembali ke pesantren. Apalagi, upaya Rahmat masuk ke Kampus Damai Sentosa juga dilatar-belakangi tantangan Kemi, yang menyatakan pemikirannya pasti akan berubah jika telah masuk ke kampus berbasis liberal.

Berbekal ilmu dari Kyai Rois dan Kyai Fahmi, Rahmat ‘berhadapan’ dengan Kemi maupun para pakar dan aktivis yang menamakan dirinya Islam Liberal. Walaupun sebagian besar cerita berisikan ‘perang’ pemikiran, ada selipan getar-getar cinta antara Rahmat dengan Siti, salah seorang ujung tombak gerakan feminisme, yang juga teman seorganisasi Kemi. Berada di lingkungan baru tidak membuat Rahmat kikuk, bahkan segala berjalan mulus, sampai saat Rahmat ‘membantai’ pemikiran rektor kampus dan Kyai Dulpikir.

Sebenarnya agak kurang sreg juga sih, saat membaca bagian dialog Rahmat dan pemikiran dua tokoh liberal, dimana para tokoh tersebut terlihat tidak cerdas dalam ‘melawan’ gempuran Rahmat dan hanya mengandalkan pernyataan yang berputar-putar. Apakah memang pemikiran liberal cenderung berputar-putar dan ngenyel? Untuk sosok Rahmat sendiri memang dideskripsikan sebagai orang yang hampir sempurna, cerdas, alim, plus ganteng, sedikit mengingatkan dengan tokoh-tokoh pria dalam buku Kang Abik. Novel ini tidak menyajikan alur dan plot cerita selayaknya novel islami yang cenderung lembut, tapi lebih mengutamakan pembahasan tentang dialog pemikiran islam vs liberal.

Adapun bab yang menurut saya agak aneh adalah hasil wawancara antara Bejo dan Dokter Ita. Walaupun maksudnya menguak sesuatu yang tabu, tapi dialog tersebut malah terdengar tidak etis, apalagi cara Bejo bertanya terbilang kasar. Rasanya bab tersebut seperti hanya selipan yang sebenarnya tidak terlalu penting, mengingat isinya tidak banyak berpengaruh pada kelanjutan kisah. Mungkin maksud penulis ingin memaparkan tentang cara berpikir kaum feminis, tapi malah terkesan dipaksakan. Saya cenderung berpendapat, alangkah baiknya jika sosok Siti yang lebih diperkuat sebagai ‘ikon’ feminis dalam buku ini.

Terlepas dari kekurangannya, saya benar-benar tertarik dengan tema yang diangkat dalam novel Kemi ini, dan berharap ada lagi penulis yang berkenan mengulik pemikiran islam vs liberal lebih dalam dan dipadukan dengan balutan fiksi.

Judul: Kemi, Cinta Kebebasan yang Tersesat
Penulis: Adian Husaini
Penerbit: Gema Insani Press
Cetak: Pertama, April 2010
Tebal: 316 hlm
Bintang: ***

:: ingin buku seken/murah bermutu? mampir ke FB Parcel Buku yuk! ::

0 comments:

Post a Comment

My Blog List

 

. Template by Ipietoon Cute Blog Design